1.Pengertian Menarik Diri
Menarik diri
merupakan percobaan untuk menghindari interaksi dengan orang lain, menghindari
hubungan dengan orang lain (Rawlins,1993).
Terjadinya perilaku menarik diri dipengaruhi oleh faktor predisposisi
dan stressor presipitasi. Faktor perkembangan dan sosial budaya merupakan
faktor predispoisi terjadinya perilaku
menarik diri. Kegagalan perkembangan dapat mengakibatkan individu tidak percaya diri, tidak percaya
orang lain, ragu, takut salah , pesimis, putus asa terhadap hubungan dengan
orang lain, menghindar dari orang lain, tidak mampu merumuskan keinginan, dan
merasa tertekan. Keadaan menimbulkan perilaku tidak ingin berkomunikasi dengan
orang lain, menghindar dari orang lain, lebih menyukai berdiam diri sendiri,
kegiatan sehari-hari hampir terabaikan.
2.Penyebab Menarik Diri
Penyebab dari menarik diri adalah harga diri rendah
yaitu perasaan negatif terhadap diri sendiri, hilang kepercayaan diri, merasa
gagal mencapai keinginan, yang ditandai dengan adanya perasaan malu terhadap
diri sendiri, rasa bersalah terhadap diri sendiri, gangguan hubungan sosial,
merendahkan martabat, percaya diri kurang, dan juga dapat mencederai diri
(Carpenito,L.J,1998:352).
a.
Faktor
predisposisi
Beberapa faktor predisosisi (pendukung)
terjadi gangguan hubungan sosial yaitu :
1.Faktor perkembangan
Kemampuan membina hubungan yang sehat
tergantung dari pengalaman selama proses tumbuh kembang. Setiap tahap tumbuh
kembang memiliki tugas yang harus dilalui individu dengan sukses, karena
apabila tugas perkembangan ini tidak dapat dipenuhi akan menghambat masa
perkembangan selanjutnya. Kurangnya stimulasi, kasih sayang, perhatian, dan
kehangatan dari orang tua/pengasuh akan memberikan rasa tidak aman yang dapat
menghambat terbentuknya rasa tidak percaya.
2.Faktor biologis
Genetik merupakan salah satu faktor pendukung
gangguan jiwa. Kelainan struktur otak, seperti atropi, pembesaran ventrikel,
penurunan berat dan volume otak serta perubahan limbik diduga dapat menyebabkan
skizofrenia.
3.Faktor sosial budaya
Faktor sosial budaya dapat menjadi faktor
pendukung terjadinya gangguan dalam membina hubungan dengan orang lain,
misalnya anggota keluarga yang tidak produktif diasingkan dari orang lain
(lingkungan sosialnya).
b. Stressor Presipitasi
1.Stressor sosial budaya
Stressor sosial budaya dapat menyebabkan
terjadinya gangguan dalam membina hubungan dengan orang lain, misalnya anggota
keluarga yang labil, yang dirawat di rumah sakit.
2.Stressor psikologis
Tingkat kecemasan yang berat akan menyebabkan
menurunnya kemampuan individu untuk berhubungan dengan orang lain. Intensitas kecemasan
yang ekstrim dan memanjang disertai terbatasnya kemampuan individu untuk
mengatasi masalah diyakini akan menimbulkan berbagai masalah gangguan
berhubungan (menarik diri).
3. Rentang Respon
1.
Menyendiri (solitude) merupakan respon yang
dibutuhkan seseorang untuk merenungkan apa yang telah dilakukan di lingkungan
sosialnya dan suatu cara mengevaluasi diri untuk menentukan langkah selanjutnya.
2.
Otonomi merupakan kemampuan individu untuk
menentukan dan menyampaikan ide-ide pikiran, perasaan dalam hubungan sosial.
3.
Bekerjasama (mutualisme) adalah suatu kondisi
dalam hubungan interpersonal dimana individu tersebut mampu untuk saling
memberi dan menerima.
4.
Saling tergantung (interdependen) adalah
suatu kondisi saling tergantung antara individu dengan orang lain dalam membina
hubungan interpersonal.
5.
Menarik diri merupakan suatu keadaan dimana
seseoramg menemukan kesulitan dalam membina hubungan secara terbuka dengan
orang lain.
6.
Tergantung (dependen) terjadi bila seseorang
gagal mengambangkan rasa percaya diri atau kemampuannya untuk berfungsi secara
sukses.
7.
Manipulasi merupakan gangguan hubungan sosial
yang terdapat pada individu yang menganggap orang lain sebagai objek. Individu
tersebut tidak dapat membina hubungan sosial secara mendalam.
8.
Curiga terjadi bila seseorang gagal
mengembangkan rasa percaya dengan orang lain. Kecurigaan dan ketidakpercayaan
diperlihatkan dengan tanda-tanda cembru, iri hati, dan berhati-hati. Perasaan
induvidu ditandai dengan humor yang kurang, dan individu merasa bangga dengan
sikapnya yang dingin dan tanpa emosi.
4. Akibat Menarik Diri
Klien
dengan perilaku menarik diri dapat berakibat adanya terjadinya resiko perubahan
sensori persepsi (halusinasi). Halusinasi ini merupakan salah satu orientasi
realitas yang maladaptif,
dimana halusinasi adalah persepsi klien terhadap lingkungan tanpa stimulus yang
nyata, artinya klien menginterprestasikan sesuatu yang nyata tanpa
stimulus/rangsangan eksternal.
Gejala Klinis :
§
Bicara, senyum dan tertawa
sendiri.
§
Menarik diri dan menghindar
dari orang lain.
§
Tidak dapat membedakan tidak
nyata dan nyata.
§
Tidak dapat memusatkan
perhatian.
§
Curiga, bermusuhan, merusak
(diri sendiri, orang lain dan lingkungannya), takut.
§
Ekspresi muka tegang, mudah
tersinggung. (Budi Anna Keliat, 1999).
5. Proses
Terjadinya Masalah Menarik Diri
Pada
mulanya klien merasa dirinya tidak berharga lagi sehingga merasa tidak aman
dalam berhubungan dengan orang lain. Biasanya klien berasal dari lingkungan
yang penuh permasalahan, ketegangan, kecemasan dimana tidak mungkin
mengembangkan kehangatan emosional dalam hubungan yang positif dengan orang
lain yang menimbulkan rasa aman.
Dunia
merupakan alam yang tidak menyenangkan, sebagai usaha untuk melindungi diri,
klien menjadi pasif dan kepribadiannya semakin kaku (rigid). Klien semakin
tidak dapat melibatkan diri dalam situasi yang baru. Ia berusaha mendapatkan
rasa aman tetapi hidup itu sendiri begitu menyakitkan dan menyulitkan sehingga
rasa aman itu tidak tercapai. Hal ini menyebabkan ia mengembangkan rasionalisasi
dan mengaburkan realitas daripada mencari penyebab kesulitan serta menyesuaikan
diri dengan kenyataan.
Konflik antara kesuksesan
dan perjuangan untuk meraih kesuksesan itu sendiri terus berjalan dan penarikan
diri dari realitas diikuti penarikan diri dari keterlibatan secara emosional
dengan lingkungannya yang menimbulkan kesulitan. Semakin klien menjauhi
kenyataan semakin kesulitan yang timbul dalam mengembangkan hubungan dengan
orang lain.
6. Tanda dan Gejala
1. Kurang
spontan.
2. Apatis
(acuh tak acuh terhadap lingkungan).
3. Ekspresi
wajah kurang berseri (ekspresi sedih).
4. Afek
tumpul.
5. Tidak
merawat dan memperhatikan kebersihan diri.
6. Komunikasi
verbal menurun atau tidak ada. Klien tidak bercakap-cakap dengan klien
lain/perawat.
7. Mengisolasi
diri (menyendiri).
8. Tidak
atau kurang sadar dengan lingkungan sekitarnya.
9. Pemasukan
makan dan minuman terganggu.
10. Retensi
urin dan feses.
11. Aktivitas
menurun.
12. Kurang
energi.
13. Harga
diri rendah.
14. Posisi
janin pada saat tidur.
15. Menolak
berhubungan dengan orang lain.
a.Tinjauan kasus
Masalah jiwa akan meningkat di era globalisasi. Sebagai contoh jumlah
penderita sakit jiwa di propinsi lain dan daerah istimewa Yogyakarta terus
meningkat. Penderita tidak lagi didominasi masyarakat kelas bawah. Kalangan pejabat
dan masyarakat lapisan menengah ke atas, juga tersentuh gangguan psikotik dan
depresif.
Kecenderungan itu tampak dari
banyaknya pasien yang menjalani rawat inap maupun rawat jalan di RS Grhasia
Yogyakarta dan RS Sardjito Yogyakarta. Pada dua rumah sait tersebut klien
gangguan jiwa terus bertambah sejak tahun 2002 lalu. Pada tahun 2003 saja
jumlahnya mencapai 7.000 orang, sedang pada 2004 naik menjadi 10.610 orang.
Sebagian dari klien menjalani rawat jalan, dank lien yang menjalani rawat inap
mencapai 678 orang pada 2003 dan meningkat menjadi 1.314 orang pada tahun 2004.
yang menarik, klien gangguan jiwa sekarang tidak lagi didominasi kalangan
bawah, tetapi kalangan mahasiswa, pegawai negeri sipil, pegawai swasta, dan
kalangan professional juga ada diantaranya. Klien gangguan jiwa dari kalangan
menengah ke atas, sebagian besar disebabkan tidak mampu mengelola stress dan ada juga kasus mereka yang mengalami post
power syndrome akibat dipecat atau mutasi jabatan.
Kepala staf medik fungsional jiwa RS
Sardjito Yogyakarta, Prof.Dr. Suwadi mengatakan, pada tahun 2003 jumlah klien
gangguan jiwa yang dirawat inap sebanyak 371 pasien. Tahun 2004 jumlahnya
meningkat menjadi 433 pasien. Jumlah itu, belum termasuk klien rawat jalan di
poliklinik yang sehari-hari rata-rata 25 pasien. Demikian juga di propinsi
Sumatera Selatan, gangguan kejiwaan dua tahun terakhir ini menunjukkan
kecenderungan peningkatan. Beban hidup yang semakin berat, diperkirakan menjadi
salah satu penyebab bertambahnya klien gangguan jiwa. Kepala Rumah Sakit Jiwa
(RSJ) daerah Propinsi Sumatera Selatan mengungkapkan: setahun ini jumlah klien
gangguan jiwa yang ditangani di RSJ mengalami peningkatan 10-15% dibandingan
dengan tahun sebelumnya. Kecenderungannya, kasus-kasus psikotik tetap tinggi,
disusul kasus neurosis yang cenderung meningkat, rekam medis di RSJ Sumsel
mencatat, jumlah klien yang dirawat meningkat dari jumlah 4.101 orang (2003)
menjadi 4.384 orang (2004). Dari keseluruhan jumlah klien yang dirawat selama
2004, sebanyak 1.872 pasien diantaranya dirawat inap di RSJ itu. Sebanyak 1.220
orang adalah sebagai pasien lama ang sebelumnya pernah dirawat. Kondisi
lingkungan yang semakin keras, dapat menjadi penyebab meningkatnya jumlah
masyarakat yang mengalami gangguan kejiwaan. Apalagi untuk individu yang rentan
terhadap kondisi lingkungan dengan timgkat kemiskinan terlalu menekan.
Kasus-kasus gangguan kejiwaan yang
ditangani oleh para psikiater dan dokter di RSJ menunjukkan bahwa penyakit jiwa
tidak mengenal baik strata sosial maupun usia. Ada orang kaya yang mengalami tekanan hebat, setelah kehilangan semua harta
bendanya akibat kebakaran. Selain itu kasus neurosis pada anak dan remaja, juga
menunjukkan kecenderungan meningkat. Neurosis adalah bentuk gangguan kejiwaan
yang mengakibatkan penderitanya mengalami stress, kecemasan yang berlebihan,
gangguan tidur, dan keluhan penyakit fisik yang tidak jelas penyebabnya.
Neurosis menyebabkan merosotnya kinerja individu. Mereka yang sebelumnya rajin
bekerja, rajin belajar menjadi lesu, dan sifatnya menjadi emosional. Melihat
kecenderungan penyakit jiwa pada anak dan remaja kebanyakan adalah kasus trauma
fisik dan nonfisik. Trauma nonfisik bisa berbentuk musibah, kehilangan orang
tua, atau masalah keluarga.
Tipe gangguan jiwa yang lebih berat, disebut
gangguan psikotik. Klien yang menunjukkan gejala
perilaku yang abnormal secara kasat mata. Inilah orang yang kerap mengoceh
tidak karuan, dan melakukan hal-hal yang bisa membahayakan dirinya dan orang
lain, seperti mengamuk.
b. Solusi Kasus
Untuk mengatasi
peningkatan jumlah penderita gangguan jiwa yang sudah kita ketahui penyebabnya
seperti kasus di atas yang menyebutkan bahwa “ketidakmampuan untuk mengelola
stres” menjadi faktor penyebab individu mengalami gangguan jiwa, maka hendaknya
kita sebagai petugas kesehatan dapat memberikan pengajaran atau bimbingan
bagaimana cara untuk mengatasi stres tersebut (mekanisme koping). Terlepas dari
masalah tersebut, keluarga sangatlah berperan penting didalam membantu
penyembuhan pasien dengan gangguan jiwa.
DAFTAR PUSTAKA
Rawlins,
R.P, dan Heacock, P.E. (1993). Clinical Mannual of Psychiatric
Nursing. St. Louis: Mosby Year Book.
Stuart,
G.W, dan Sundeen, S.J. (1991). Principles and Practice of
Psychiatric Nursing, 4 th ed. St. Louis: Mosby Year
Book.
Sheila L, .(2008).Keperawatan Jiwa ,Alfrina Hany,EGC,Jakarta ,
Dra. M.m Nilam W. Msi, ,Psikologi Populer: Kunci Pengembangan Diri,Elex Media Komputindo,Jakarta,2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar